QIRA'AH SAB'AH


QIRA’AT SAB’AH

A.    PENGERTIAN QIRA’AT SAB’AH
         Qira’at berarti bacaan, menurut istilah qiroah adalah ilmu yang membahas tentang cara membaca al-qur’an dengan menisbahkan setiap bacaannya seorang imam pakar qira’at, yang mana salah satu Imam qurra’ berbeda dengan mahdzab lainnya dengan pengucapannya.[1] merupakan cabang ilmu tersendiri dalam ulumul Qur'an. Ilmu Qira’at tidak mempelajari halal-haram atau hukum-hukum tertentu. Menurut bahasa قراءات adalah bentuk jamak dari قراءة yang merupakan isim masdar dari قرأ yang artinya "Bacaan".
        Adapun menurut istilah, ilmu qira′at adalah Ilmu yang membahas tentang tata cara pengucapan kata-kata Al-Qur`an berikut cara penyampaiannya, baik yang disepakati (ulama ahli Al-Qur`an ) maupun yang terjadi dengan menisabkan setiap wajah bacaannya kepada seorang Iman Qiro’at.
      Qira’at adalah bentuk ucapan (pengucapan) kalimat Al Qur’an yang didalamnya termasuk perbedaan-perbedaan yang bersumber dari Rosululloh SAW. Tiap-tiap Qiraat yang disandarkan pada seorang Imam memiliki kaidah-kaidah bacaan tertentu dan juga memiliki rumusan-rumusan tajwid yang berbeda-beda dalam rangka untuk membaguskan bacaannya. Dari sini dapat dikatakan bahwa Qira’at dan tajwid merupakan dua ilmu yang berbeda tetapi sangat berkaitan erat. Ilmu Qira’at mengenai bentuk peengucapan bacaan, sedangkan ilmu tajwid bagaimana mengucapkan dengan baik.
Qiro’at Sab’ah atau Qiro’at Tujuh adalah macam cara membaca Al-Qur’an yang berbeda. Disebut qiro’at tujuh karena ada tujuh imam qiro’at yang terkenal masyhur yang masing-masing memiliki langgam bacaan tersendiri. Tiap imam qiro’at memiliki dua orang murid yang bertindak sebagai perawi. Tiap perawi tersebut juga memiliki perbedaan dalam cara membaca Qur’an, Sehingga ada empat belas cara membaca al-qur’an yang masyhur. Perbedaan cara membaca itu sama sekali bukan dibuat-buat, baik dibuat oleh imam Qiro’at maupun oleh perawinya. Cara membaca tersebut merupakan ajaran Rasulullah dan memang seperti itulah Al-Qur’an diturunkan. Jadi, kesemuannya ini adalah bacaan-bacaan al Quran yang sama kuat derajat ke Qur’anannya. Bacaan ini, masing-masing boleh di baca siapapun meski pembaca atau pendengarnya tidak mengerti. Contohnya, bacaan عَليهمْ -و عليهمُ – عليهُم . Boleh mambaca salah satunya, cالدين يومَ مَلكِ) tapi tidak boleh membaca (الدين يَومَ مَلَكَ) karena ini bukan salah satu dari bacaannya Imam Tujuh.
B.     LATAR BELAKANG TIMBULNYA PERBEDAAN QIRA’AT
Beberapa faktor yang melatar belakangi timbulnya perbedaan qira’at diantaranya yaitu :
1.         Perbedaan syakkal, harokat atau huruf. Karena mushaf mushaf terdahulu tidak menggunakan syakkal dan harokat, maka imam-imam qira’at membantu memberikan bentuk-bentuk qira’at.
2.         Nabi sendiri melantunkan berbagai versi qira’ah didepan sahabat-sahabatnya. Seperti dalah suatu hadis yang artinya,
“Dari umar bin khathab, ia berkata, “aku mendengar hisyam bin hakim membaca surat al-furqon di masa hidup rasulullah. aku perhatikan bacaannya. tiba-tiba ia membaca dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia shalat, tetapi aku urungkan. maka, aku menunggunya sampai salam. begitu selesai, aku tarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya, ‘siapakah yang mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?’ ia menjawab, ‘rasulullah yang membacakannya kepadaku. lalu aku katakan kepadanya, ‘kamu dusta! demi Allah, rasulullah telah membacakan juga kepadaku surat yang sama, tetapi tidak seperti bacaanmu. kemudian aku bawa dia menghadap rasulullah, dan aku ceritaan kepadanya bahwa aku telah mendengar orang ini membaca surat al-furqon dengan huruf-huruf (bacaan) yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan surat al-furqon kepadaku. maka rasulullah berkata, ‘lepaskanlah dia, hai umar. bacalah surat tadi wahai hi syam!’ hisyam pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi. maka kata rasulullah, ‘begitulah surat itu diturunkan.’ ia berkata lagi, ‘bacalah, wahai umar!’ lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan rasulullah kepadaku. maka kata rasulullah, ‘begitulah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu di antaranya.’” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Jarir)
3.         Adanya pengakuan nabi (takrir) terhadap berbagai versi qira’ah para sahabatnya.
4.         Perbedaan riwayat dari para sahabat nabi menyangkut bacaan ayat-ayat tertentu.
5.         Karen perbedaan dialek (lahjah) dari berbagai unsur etnik dimasa nabi.
Jadi itulah beberapa faktor yang melatar belakangi timbulnya perbedaan qira’at di kalangan umat islam.[2]
C.    DASAR HUKUM
Agar Al-Qur’an mudah dibaca sebagian kabilah arab yang kenyataannya pada masa itu mereka mempunyai tingkat yang berbeda beda, maka Rosulullah membuat bacaaan Al-Qur’an dari Allh AWT untuk bacaan bahasa yang mereka miliki. Banyak hadis-hadis nabi yang menerangkan bahwa Allah telah mengizinkan bacaan Al Qur’an dengan tujuh wajah umat Islam mudah membacanya. Karena itu mushaf-mushaf dapat dibaca dengan berbagai qira’at sebagaimana dalam sabda Rosulullah SAW yang artinya:
“sesungguhnya Al-qur’an ini diturunkan atasa tujuh huruf (cara bacaan), maka bacalah (menurut) makna yang engkau anggap mudah.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Dalam sebuah hadis lain juga dijelaskan yang berbunyi :
“Dari Ibnu Abas RA ia berkata : Rasulullah bersabda : Jibril telah memberikan Al-Qur’an kepadaku dengan satu huruf, lalu aku senantiasa mendesak dan berulang kali meminta agar ditambah, dan ia menambahnya hingga sampai tujuh huruf” (HR. Bukhori Muslim)
D. SEJARAH QIRA’ATIL QUR’AN
Pada periode awal kaum muslimin memperoleh ayat-ayat al-Qur’an langsung dari nabi saw, kepada para sahabat dan dari sahabat ini kemudian kepada para tabi’in serta para imam-imam qiraat pada masa selanjutnya. Pada masa Nabi saw, ayat-ayat ini diperoleh dari nabi dengan cara mendengarkan, membaca lalu beberapa sahabat menghafalkannya. Sehingga pada periode ini al-Qur’an belum dibukukan, pedoman dasar bacaan dan pelajarannya langsung bersumber dari Nabi saw, serta para sahabat yang hafal al-Qur’an. Hal ini berlangsung hingga masa para sahabat yang pada perkembangannya al-Qur’an dibukukan atas dasar iktiar dari khalifah Abu Bakar dan inisiatif Umar bin Khattab.
Pada perkembangan berikutnya, al-Qur’an justru tertata lebih rapi karena khalifah Usman berinisiatif untuk menyalin mushaf dan dicetak lebih banyak untuk kemudian disebarkan kepada kaum muslimin di berbagai kawasan. Langkah ini ditempuh oleh Utsman bin Affan karena pada waktu itu terjadi perselisihan diantara sesama kaum muslimin tentang perbedaan bacaan yang mereka terima, maka dengan dasar inilah diketahui sejarah awal terjadinya perbedaat Qira’at yang kemudian dipadankan oleh Utsman bin Affan dengan cara menyalin mushaf itu menjadi satu bentuk yang sama dan mengirimnya ke berbagai daerah. Dengan cara seperti ini maka tidak aka nada lagi perbedaan, karena seluruh mushaf yang ada di daerah-daerah kaum muslimin semuanya sama, yaitu mushaf yang berasal dari khalifah Utsman bin Affan.
Setelah masa itu, maka muncullah para qurra’ (para ahli dalam membaca al-Qur’an), merekalah yang menjadi panutan di daerahnya masing-masing dan dari bacaan mereka dijadikan pedoman serta cara-cara membaca al-Qur’an.[3]
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan qira’at. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at  adalah Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam yang wafat pada tahun 224 H. Ia menulis kitab yang diberi nama al-Qira’at yang menghimpun qiraat dari 25 orang perawi. Pendapat lain menyatakan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qiraat adalah Husain bin Usman bin Tsabit al-Baghdadi al-Dharir yang wafat pada tahun 378 H.  Dengan demikian mulai saat itu qira’at menjadi ilmu tersendiri dalam ‘Ulum al-Qur’an.
Menurut Sya’ban Muhammad Ismail, kedua pendapat itu dapat dikompromikan. Orang yang pertama kali menulis masalah qiraat dalam bentuk prosa adalah al-Qasim bin Salam, dan orang yang pertama kali menullis tentang qira’at sab’ah dalam bentuk puisi adalah Husain bin Usman al-Baghdadi.
            Pada penghujung Abad ke III Hijriyah, Ibn Mujahid menyusun qira’at Sab’ah dalam kitabnya Kitab al-Sab’ah. Dia hanya memasukkan para imam qiraat yang terkenal siqat dan amanah serta panjang pengabdiannya dalam mengajarkan al-Qur’an, yang berjumlah tujuh orang. Tentunya masih banyak imam qira’at yanng lain yang dapat dimasukkan dalam kitabnya.
            Ibn Mujahid menamakan kitabnya dengan Kitab al-Sab’ah hanyalah secara kebetulan, tanpa ada maksud tertentu. Setelah munculnya kitab ini, orang-orang awam menyangka bahwa yang dimaksud dengan ahruf sab’ah  adalah qira’at sab’ah oleh Ibn Mujahid ini. Padahal masih banyak lagi imam qira’at lain yang kadar kemampuannya setara  dengan tujuh imam qira’at dalam kitab Ibn Mujahid.
 Abu al-Abbas bin Ammar mengecam Ibn Mujahid karena telah mengumpulkan qira’at sab’ah. Menurutnya Ibn Mujahid telah melakukan hal yang tidak selayaknya dilakukan, yang mengaburkan pengertian orang awam bahwa Qiraat Sab’ah itu adalah ahruf sab’ah seperti dalam hadis Nabi itu. Dia juga menyatakan, tentunya akan lebih baik jika Ibn Mujahid mau mengurangi atau menambah jumlahnya dari tujuh, agar tidak terjadi syubhat.
Banyak sekali kitab-kitab qiraat yang ditulis para ulama setelah Kitab Sab’ah ini. Yang paling terkenal diantaranya adalah :  al-Taysir fi al-Qiraat al-Sab’i yang diisusun oleh Abu Amr al-Dani, Matan al-Syatibiyah fi Qira’at al-Sab’i karya Imam al-Syatibi, al-Nasyr fi Qira’at al-‘Asyr karya Ibn al-Jazari dan Itaf Fudala’ al-Basyar fi al-Qira’at al-Arba’ah ‘Asyara karya Imam al-Dimyati al-Banna.  Masih banyak lagi kitab-kitab lain tentang qira’at yang membahas qiraat dari berbagai segi secara luas, hingga saat ini.
E. MACAM–MACAM QIRA’AT
Qira’at ada macam-macam jenisnya. pendapat tentang qira’at itu sendiri juga sangatlah beragam dan semua pendapat tersebut sangatlah berbobot seperti yang tertera di bawah ini. Pengarang kitab Al-Itqan menyebutkan macam-macam qira’at itu ada yang mutawatir, masyhur, Syadz, ahad, maudhu’ dan mudarraj.
As-Suyuti mengutip Ibnu Al-Jazari yang mengelompokkan qira’ah berdasarkan sanad kepada enam macam, diantaranya :
1)            Qira’ah Mutawatir
Qira’ah Mutawatir yaitu Qira’ah yang periwayatannya melalui beberapa orang, seperti Qira’ah Sab’ah yang menurut jumhhur ulama’ Qira’ah sab’ah ini semua riwatnya adalah mutawatir,[4] para imam yang termasuk dalam Qira’ah sab’ah adalah
a.       Nafi’ bin Abdurrahman (w.169 H.) di Madinah
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ ibnu Abdurrahman ibnu Abi Na’im al-Laitsy, asalnya dari Isfahan. Dengan kemangkatan Nafi’ berakhirlah kepemimpinan para qari di Madinah al-Munawwarah. Beliau wafat pada tahun 169 H. Perawinya adalah Qalun wafat pada tahun 12 H, dan Warasy wafat pada tahun 197 H.
Syaikh Syathiby mengemukakan: “Nafi’ seorang yang mulia lagi harum namanya, memilih Madinah sebagai tempat tinggalnya. Qolun atau Isa dan Utsman alias Warasy, sahabat mulia yang mengembangkannya.
b.      Ashim bin Abi Nujud Al-asady (w. 127 H.) di Kufah
Nama lengkapnya adalah ‘Ashim ibnu Abi an-Nujud al-Asady. Disebut juga dengan Ibnu Bahdalah. Panggilannya adalah Abu Bakar, ia adalah seorang tabi’in yang wafat pada sekitar tahun 127-128 H di Kufah. Kedua Perawinya adalah; Syu’bah wafat pada tahun 193 H dan Hafsah wafat pada tahun 180 H.
Kitab Syathiby dalam sya’irnya mengatakan: “Di Kufah yang gemilang ada tiga orang. Keharuman mereka melebihi wangi-wangian dari cengkeh Abu Bakar atau Ashim ibnu Iyasy panggilannya. Syu’ba perawi utamanya lagi terkenal pula si Hafs yang terkenal dengan ketelitiannya, itulah murid Ibnu Iyasy atau Abu Bakar yang diridhai.
c.       Hamzah bin Habib At-Taymy (w. 158 H.) di Kufah
Nama lengkapnya adalah Hamzah Ibnu Habib Ibnu ‘Imarah az-Zayyat al-Fardhi ath-Thaimy seorang bekas hamba ‘Ikrimah ibnu Rabi’ at-Taimy, dipanggil dengan Ibnu ‘Imarh, wafat di Hawan pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur tahun 158 H. Kedua perawinya adalah Khalaf wafat tahun 229 H. Dan Khallad wafat tahun 220 H. dengan perantara Salim.
Syatiby mengemukakan: “Hamzah sungguh Imam yang takwa, sabar dan tekun dengan Al-Qur’an, Khalaf dan Khallad perawinya, perantaraan Salim meriwayatkannya.
d.      Ibnu amir al- yahuby (w. 118 H.) di Syam
Nama lengkapnya adalah Abdullah al-Yahshshuby seorang qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Walid ibnu Abdul Malik. Pannggilannya adalah Abu Imran. Dia adalah seorang tabi’in, belajar qira’at dari Al-Mughirah ibnu Abi Syihab al-Mahzumy dari Utsman bin Affan dari Rasulullah SAW. Beliau Wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Orang yang menjadi murid, dalam qira’atnya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan.
Dalam hal ini pengarang Asy-Syathiby mengatakan: “Damaskus tempat tinggal Ibnu ‘Amir, di sanalah tempat yang megah buat Abdullah. Hisyam adalah sebagai penerus Abdullah. Dzakwan juga mengambil dari sanadnya.
e.       Abdullah Ibnu Katsir (w. 130 H.) di Makkah
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah Ibnu Katsir ad-Dary al-Makky, ia adalah imam dalam hal qira’at di Makkah, ia adalah seorang tabi’in yang pernah hidup bersama shahabat Abdullah ibnu Jubair. Abu Ayyub al-Anshari dan Anas ibnu Malik, dia wafat di Makkah pada tahun 130 H. Perawinya dan penerusnya adalah al-Bazy wafat pada tahun 250 H. dan Qunbul wafat pada tahun 291 H.
Asy-Syathiby mengemukakan: “Makkah tempat tinggal Abdullah. Ibnu Katsir panggilan kaumnya. Ahmad al-Bazy sebagai penerusnya. Juga….. Muhammad yang disebut Qumbul namanya.
f.        Abu Amr Ibnul Ala (w. 154 H) di Basrah
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Amr Zabban ibnul ‘Ala’ ibnu Ammar al-Bashry, sorang guru besar pada rawi. Disebut juga sebagai namanya dengan Yahya, menurut sebagian orang nama Abu Amr itu nama panggilannya. Beliau wafat di Kufah pada tahun 154 H. Kedua perawinya adalah ad-Dury wafat pada tahun 246 H. dan as-Susy wafat pada tahun 261 H.
Asy-Syathiby mengatakan: “Imam Maziny dipanggil orang-orang dengan nama Abu ‘Amr al-Bashry, ayahnya bernama ‘Ala, Menurunkan ilmunya pada Yahya al-Yazidy. Namanya terkenal bagaikan sungai Evfrat. Orang yang paling shaleh diantara mereka, Abu Syua’ib atau as-Susy berguru padanya.
g.      Abu Ali Al- Kisa’i (w. 189 H) di Kufah
Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Hamzah, seorang imam nahwu golongan Kufah. Dipanggil dengan nama Abul Hasan, menurut sebagiam orang disebut dengan nama Kisaiy karena memakai kisa pada waktu ihram. Beliau wafat di Ranbawiyyah yaitu sebuah desa di Negeri Roy ketika ia dalam perjalanan ke Khurasan bersama ar-Rasyid pada tahun 189 H. Dua orang perawinya adalah Abdul haris danHafs ad-Dauri. Abdul haris adalah al-Lais bin Khalid al-Baghdadi, wafat pada 240 H. Sedang Hafs al-Dauri adalah juga perawi  Abu Amr ang telah disebutkan di atas.
Tujuh orang imam yang terkenal sebagai ahli qira'at di seluruh dunia yang sering disebut juga dengan "Qurra' as-Sab'ah" mereka adalah ulama-ulama yang terkenal hafalan, ketelitian dan cukup lama menekuni dunia qiraat serta telah disepakati untuk diambil dan dikembangkan qira'atnya. Para ulama juga memilih tiga orang selainnya yang qira'atnya dipandang shahih dan mutawattir,sehingga jumlahnya menjadi 10 orang imam qira'at atau lebih dikenal dengan istilah "al-Qurra' al-asyrah" . Qira'at di luar yang sepuluh ini dipandang syadz.
Pengertian Rawi adalah orang yang meriwayatkan atau memberitakan, sementarapengertian sanad adalah  mata rantai persambungan periwayat.Dari kesepuluh Imam, yang paling banyak dianut oleh qari' Indonesia adalah Imam Ashim (no.5 ), bacaan beliau diriwayatkan oleh Imam Hafs dan diajarkan kepada murid-muridnya sehingga riwayat ini sampai kepada Imam Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Jazari yang selama ini kita kenal sebagai pengarang kitab tajwid "Jazariyah" yang sudah banyak dipelajari dikalangan santri.
2)            Qira'at Penggenap 10 Imam Al-Asyrah
1.      Abu Ja'far al-Madani.
Belau adalah Yazid bin Qo'qi, wafat di Madinah pada 128 H dan dikatakan pula132 H. Dua orang perawinya adalah Ibn Wardan dan Ibn Jimas. Ibn Wardan adalah Abu Haris isa bin Wardan al-Madani, wafat di Madinah pad awal 160 H. Sedang Ibn Jimaz adalah Abu Rabi' Sulaiman bin Muslim bin Jimaz al-Madani dan wafat pada akhir 170 H.
2. Ya'kub al-Basri.
Beliau adalah Abu Muhammad Ya'kub bin Ishaq bin Zaid al-Hadrami, wafat di Basrah pada 205 H. tetapi dikatakan pula pada 185 H. Dua orang perawinya adalah Ruwais dan Rauh. Ruwais adalah Abu Abdullah Muhammad bin Mutawakkil al-Lu'lu'i al-Basri. Ruwais adalah julukannya, wafat di Basrah pada 238 H. Sedang Rauhadalah Abu Hasan Rauh bin Abdul Mu'in al-Basri an-Nahwi. Beliau wafat 234 H.atau 235 H.
3. Khalaf bin Hisyam al-Bazzar al-Bagdadi.
 Beliau adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Sa'lab al-Bazar al-Baghdadi. Beliau wafat pada 229 H, tetapi dikatkan pula bahwa kewafatannya tidak diketahui. Dua orang perawinya adalah Iskhaq dan Idris. Iskaq adalah Abu Ya'kub Ishaq bin Ibrahim bin Utsman al-Warraq al-Marwazi kemudian al-Baghdadi . Beliau wafat pada 286 H. Sedang Idris adalah Abul Hasan Idris bin Abdul Karim al-Baghdadi al-Haddad. Beliau wafat pada hari Idul Adha 292 H.
3). kriteria pemilihan dan Menyeleksi Para Imam Qiraat
Pemilihan imam qira'at yang tujuh itu dilakukan oleh ulama terkemudian pada abad ke-3 Hijriyah . Bila tidak demikian, maka sebenarnya para imam yang dapat dipertanggungjawabkan ilmunya itu cukup banyak jumlahnya. Pada permulaan abad ke-2 umat Islam di Basrah memilih imam qira'at Imam Ibn Amr dan Ya'qub, di Kufah orang-orang memilih qiraat Ibn Amir, di Makkah mereka memilih qiraatIbn Katsir, dan di Madinah mereka memilih qiraat Nafi'. Mereka itulah tujuh orang qari'.
 Tetapi pada permulaan abad ke-3, Abu Bakar bin Mujahid, guru qira'at pendudukIraq, dan salah seorang yang menguasai qira'at, yang wafat pada 334 H. menetapkan nama al-Kisa'i dan membuang nama Ya'kub dari tujuh kelompok qari tersebut.
4). Letak Perbedaan Qira'ah Para Imam
1. Lajnah (dialek)
2. Tafkhim (penyahduan bacaan)
3. Tarqiq (pelembutan)
4. Imla (pengejaan)
5. Madd (panjang nada)
6. Qasr (pendek nada)
7. Tasydid (penebalan nada)
8. akhfif (penipisan nada).


Contoh perbedaan qiraat yang paling sering kita jumpai adalah imaalah. Pada beberapa lafal Alquran, sebagian orang Arab mengucapkan vocal 'e' sebagai ganti dari 'a'. Misalnya, ucapan 'wadl-dluhee wallaili idza sajee. Maa wadda'aka rabuka wa maa qolee'. Kendati masing-masing imam punya beberapa lafal bacaan yang berbeda, dalam mushaf yang kita pakai sehari-hari tidak terdapat tanda perbedaan bacaan itu. Perbedaan lafal bacaan ini hanya bisa kita temui dalam kitab-kitab tafsir yang klasik. Biasanya, dalam kitab-kitab klasik tersebut, akan ditemukan penjelasan tentang perbedaan para imam dalam membaca masing-masing lafal itu. Menurut berbagai literatur sejarah, perbedaan dalam melafalkan ayat-ayat Alquran ini mulai terjadi pada masa Khalifah Usman bin Affan. Ketika itu, Utsman mengirimkan mushaf ke pelosok negeri yang dikuasai Islam dengan menyertakan orang yang sesuai qiraatnya dengan mushaf-mushaf tersebut. Qiraat ini berbeda satu dengan lainnya karena mereka mengambilnya dari sahabat yang berbeda pula. Perbedaan ini berlanjut pada tingkat tabiin di setiap daerah penyebaran.
2.      Qiroa’at Masyhur,
Qiroa’at Masyhur, yaitu qiro’ah yang memiliki sanad sohih, tetapi tidak sampai pada kualitas mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf Usmani, masyhur di kalangan ahli qiro’ah dan tidak termasuk qiro’ah yang keliru dan menyimpang. Misalnya qiro’at dari imam yang tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda. Sebagian perawi misalnya meriwayatkan dari Imam Tujuh, sementara yang lainnya tidak. Qiro’at semacam ini banyak di jumpai kitab-kitab Qiro’ah misalnya At-taisir karya Ad-dani, Qashidah karya As-Syatibi, Au’iyyah Annasr Fi Qiro’ah Al-Asyr dan Taqrib An-Nasyr, keduanya karya Ibnu Al-Jaziri. Menurut AlZarqani dan Subhi Al-Sholih kedua tingkatan Muttawatir dan Masyhur sah Bacaannya dan wajib meyakininya serta tidak mengingkari sedikitpun dari padanya.
3. Qiroat Ahad
Qiroat Ahad, yaitu qiro’at yang sanadnya sohih tetapi tulisannya tidak cocok dengan tulisan mushaf usmani yang juga tidak selaras dengan kaidah bahasa arab. Qiro’at ini tidak boleh untuk membaca al-qur’an.
4.      Qiro’at Syadz
Qiro’at Syadz, yaitu qiro’ah yang sanadnya tidak sohih. Contoh:ملك يوم الدين  (di baca malaka yauma)
5.      Qira’ah maudlu’ (palsu),
Qira’ah ini tdak boleh untuk membaca Al-Qur’an.
6.      Qira’ah mudraj
Qira’ah mudraj yaitu qira’at yang didalamnya terdapat kata atau kalimat tambahan yang biasanya dijadikan penafsiran bagi ayat Al-quran .
Kedua qira’at diatas (maudlu dan mudraj)  tidak dapat dijadikan pegangan dalam baca’an Al-Qur’an.
1.      Qiro’ah Sab’ah
Qiroah ini yang di sandarkan pada Imam Tujuh ahli qira’a, yaitu qira’ah yang telah disebutkan diatas. Ada dua alasan kenapa di sebut qira’ah sab’ah:
Pertama : ketika kholifah Utsman menirim ke berbagai daerah itu berjumlah tujuh buah yang masing-masing disertai dengan ahli qira’ah yang mengajarkan. Nama Sab’ah berasal dari jumlah qurro’ yang mengajarkan yaitu Sab’ah (tujuh).
Kedua : tujuh qira’ah itu adalah qira’at yang sama dengan tujuh cara (dialek) bacaan diturunkannya Al-qur’an. Dua pendapat diatas di sampaikan oleh Prof. Dr. H. Abdul Djalal H.A. yang mengutip dari pendapat Imam Al-Maliki.
2.      Qir’ah Asyrah
qira’ah yang di sandarkan kepada sepuluh orang ahli qra’ah, yaitu tujuh orang yang sudah tersebut dalam qira’ah sab’ah di tambah dengan tiga orang, yaitu:
a. Abu Ja’far Yazid Ibnul Qa’qa Al-qari (w. 130 H.) di Madinah
b. Abu Muhammad Ya’ Qub bin Ishaal-Hadhary (w. 205 H.) di Basrah
c. Abu Muhammad Kholf bin Hisyam Al-A’masyy (w. 229 H.)
Menurut sebagian ulama’, pembatasan terhadap tujuh ahli qira’at kurang tepat, karna masih banyak orang (ulama’) lain yang juga mamahami dan pandai tentang qira’at.
3.      Qira’ah Arba’a Asyrata
qira’ah yang di sandarkan kepada 14 ahli qira’ah yang megajarkannya, sepuluh ahli qira’ah yang telah di tulis di tambah dengan empat orang, yaitu:
a. Hasan Al-Bashri (w. 110 H.) di Basrah
b. Ibnu Muhaish (w. 123 H.)
c.Yahya Ibnu Mubarok Al- Yazidy (w. 202 H.) di Baghdad
d.Abu Faroj Ibnul Ahmad Asy-Syambudzy (w. 388 H.) di Baghdad.
A.    KESIMPULAN
Qira’at berarti bacaan, menurut istilah qiroah adalah ilmu yang membahas tentang cara membaca al-qur’an dengan menisbahkan setiap bacaannya seorang imam pakar qira’at, yang mana salah satu Imam qurra’ berbeda dengan mahdzab lainnya dengan pengucapannya. merupakan cabang ilmu tersendiri dalam ulumul Qur'an. Ilmu Qira’at tidak mempelajari halal-haram atau hukum-hukum tertentu. Menurut bahasa قراءات adalah bentuk jamak dari قراءة yang merupakan isim masdar dari قرأ yang artinya "Bacaan".
Agar Al-Qur’an mudah dibaca sebagian kabilah arab yang kenyataannya pada masa itu mereka mempunyai tingkat yang berbeda beda, maka Rosulullah membuat bacaaan Al-Qur’an dari Allh AWT untuk bacaan bahasa yang mereka miliki.
Banyak sekali kitab-kitab qiraat yang ditulis para ulama setelah Kitab Sab’ah ini. Yang paling terkenal diantaranya adalah :  al-Taysir fi al-Qiraat al-Sab’i yang diisusun oleh Abu Amr al-Dani, Matan al-Syatibiyah fi Qira’at al-Sab’i karya Imam al-Syatibi, al-Nasyr fi Qira’at al-‘Asyr karya Ibn al-Jazari dan Itaf Fudala’ al-Basyar fi al-Qira’at al-Arba’ah ‘Asyara karya Imam al-Dimyati al-Banna.  Masih banyak lagi kitab-kitab lain tentang qira’at yang membahas qiraat dari berbagai segi secara luas, hingga saat ini.
Qira’at ada macam-macam jenisnya. pendapat tentang qira’at itu sendiri juga sangatlah beragam dan semua pendapat tersebut sangatlah berbobot seperti yang tertera di bawah ini. Pengarang kitab Al-Itqan menyebutkan macam-macam qira’at itu ada yang mutawatir, masyhur, Syadz, ahad, maudhu’ dan mudarraj.
B.     SARAN
Penulisan makalah ini di tujukan sekedar bisa menjadi gambaran sekilas, tambahan dan wawasan tentang dunia ilmu agama islam. Penulis menyarankan agar bisa menjadi tuntutan kita dalam melaksanakan sesuai syari’at islam yang telah di tetapkan.




DAFTAR PUSTAKA
Chaerudji Abdul Chalik, Ulumul Al-Qur’an. (Jakarta : Diadit Media, 2007)
Mohammad Gufron dan Rahmawati, ulumul qu’an,(Yogyakarta: kalimedia, 2017)
Syadali, Ahmad dan Rofi’i, ahmad. Ulumul Qur’an I,( Bandung : Pustka Setia, 2000).
[1] Mohammad Gufron dan Rahmawati, ulumul qu’an,(Yogyakarta: kalimedia, 2017), hal. 51
[2] A. Chaerudji Abdul Chalik, Ulumul Al-Qur’an, Jakarta : Diadit Media, 2007. Hal. 177-178
[3] http://bnetpwj.blogspot.com/2016/04/. Di akses pada tanggal 6 November 2019 pukul 2:29
[4] Ahmad Syadali dan ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an I, Bandung : Pustka Setia, 2000. hal. 228


Komentar